Saya tergugah dengan cerita teman saya tentang ayahnya beberapa waktu yang lalu kemudian saya pun berpikir untuk menulis tentang ayah saya yang sangat saya kagumi hingga saat ini dan sampai kapan pun juga.
Yang saya sukai dari ayah saya salah satunya adalah karena namanya Afrizal. Lho? Apa hubungannya? Heee.... sederhana saja karena di dalam namanya ada huruf Z, huruf yang juga ada di dalam nama saya, Nurul Azizah. Tidak hanya ayah, tapi juga teman – teman yang mengandung huruf Z dalam namanya ( fanatik sekali ).
Ayah dilahirkan di Bonjol tepat tanggal 25 April 1963, 47 tahun yang lalu. Wow, saya pernah pulang ke kampung ayah saya dan di sana begitu indahnya. Masyarakatnya banyak yang mencari emas, walau begitu saya masih heran mengapa masih banyak yang miskin. Kampung itu tepat di belakang Museum Imam Bonjol, tak ketinggalan hamparan sawah membentang di kiri kanan menambah kerinduan saya nih ( lo, mau cerita tentang ayah atau kampung ayah ya? Hihihihi kurang konsisten ).
Baiklah, kehidupan ayah saya mulai berubah begitu ia dibawa ayahnya ke Pekanbaru, sementara ibunya tetap di Bonjol ( ternyata perceraian itu sudah ada sejak dahulu kala ). Saya kekurangan informasi tentang kehidupan beliau di masa sekolah. Informasi terbanyak saya dapatkan setelah beliau tidak lagi jadi pelajar. Dan di sinilah letak serunya cerita yang diceritakan ayah saya yang dibuktikannya dengan foto – foto yang ada di rumah ( jadi saya terpaksa percaya ).
Di masa mudanya beliau merupakan jenis pemuda yang tidak betah di rumah atau lebih tepat waktunya lebih banyak dihabiskan di luar. Ayah saya menghabiskan waktu di lingkungan yang bagi sebagian orang ini adalah lingkungan yng buruk. Ayah saya senang bergaul dengan pemuda – pemuda di terminal, supir – supir bus ataupun angkot ( dan ini adalah takdinya hingga saat ini ). Beliau ikut salah satu saudaranya ke Jakarta. Tampaknya di sanalah beliau bergaul dengan para supir dan kenek di terminal. Tidak betah di Jakarta beliau pulang, tapi tidak ke Pekanbaru tapi ke Medan dan terdampar di Dumai hingga akhirnya terseret lagi ke Pekanbaru.
Pada awalnya saya sedikit tidak suka dengan cerita beliau tentang pergaulannya itu ( terkesan seperti penjahat ). Namun ternyata di sinilah pengalaman hidupnya terbentuk ( halah halaaaah...). Keahlian mengemudi, perbengkelan, dan beberapa kemampuan laki – laki lainnya didapat dari sini. Pengalaman organisasi beliau saya rasa juga. Ternyata tanpa bergabung dengan organisasi kampus atau masyarkat pun, beliau sudah punya ilmunya.
Tibalah saatnya beliau memasuki lingkungan kampus (kurang tau juga nih kronologinya). Sebagai mahasiswa yang pandai beliau juga mesti pandai – pandai dalam pergaulannya. Dan menurut pengamatan saya beliau adalah sosok yang pandai bergaul ( narsis ).
Dari foto – foto yang saya lihat di masa mudanya dulu, menurut pengamatan saya sebagai seorang perempuan, tampangnya oke punya ( heee ). Tak heran teman – teman perempuannya di kampus punya perhatian lebih. Kata ibu saya ceweknya dulu sangat banyak ( wooow..... ), entah itu pacar atau bukan. Dan kelihatannya gen itu hanya turun pada adik laki – laki saya ( kecewa ). Walaupun begitu saya masih bersyukur karena kemampuan bahasa Inggrisnya diturunkan kepada saya ( kuliahnya jurusan bahasa Inggris ). Entahlah sekarang sepertinya sudah tidak ada lagi karena jarang praktek.
Sayang sekali beliau tidak punya takdir untuk lulus kuliah. Putus kuliah beliau lanjutkan dengan berkelana ke beberapa kota sekedar cari pengalaman ataupun hanya jalan – jalan. Akhirnya menikah dengan ibu saya setelah melewati kisah cinta seperti drama korea (alamaaaaaaak).
Mungkin karena dulunya senang bergaul dengan supir, maka takdir membawanya untuk terus begitu. Pindah ke manapun yang dikerjakan oleh ayah saya adalah mengemudi. Mengemudi apa pun sudah pernah ia jalani. Jadi supir pribadi, taksi, lori, hingga angkutan umum. Tak heran sekarang kadang beliau suka mengeluh bosan dengan pekerjaannya. Kami harus memaklumi, menjalani profesi yang sama selama berpuluh tahun pastinya membuat beliau bosan. Terlepas dari hal tersebut, saya suka sekali jika naik mobil dengan beliau. Saya dan adik – adik saya adalah manusia yang dibesarkan dari kendaraan roda 4 tersebut. Masa kecil kami pun dihabiskan di belakang kemudi. Senang rasanya ketika mengenang itu.
Begitu banyak hal yang saya kagumi dari ayah saya yang punya tampang seperti orang India ini ( dan sama sekali tidak diturunkannya pada saya ). Salah satunya ialah kejujuran beliau dalam bekerja. Keluarga adalah orang yang tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh kepala keluarganya di luar rumah, apa yang dikerjakannya, apa yang dihadapinya selama bekerja, permasalahannya ketika mencari nafkah untuk kami dan lain – lain. Meskipun begitu, dari cerita teman – temannya beliau adalah orang yang jujur dan lebih banyak mengalah. Tak hanya itu di lingkungan supir yang begitu rentan dengan judi dan hal – hal buruk lainnya, beliau mampu mempertahankan diri untuk tidak terpengaruh. Ingatan beliau pada Allah pun selalu membuat saya merasa bersyukur mempunyai ayah seperti beliau. Shalat lima waktunya tidak pernah ia lewatkan bahkan ketika beliau sedang mencari nafkah. Setiap azan dikumandangkan, jika tidak sendang ada di rumah, maka beliau akan singgah ke mesjid terdekat. Hal yang jarang sekali saya lihat di diri supir – supir lainnya.
Pengawasannya pada kami pun sudah dilakukannya sejak kami masih kecil. Perintah Rasulullah ia lakukan. Kami, saya dan adik laki – laki saya Yusuf sering sekali dipukul ketika kami tidak shalat. Sifatnya sangat keras sekali saat mengajari kami bacaan shalat hingga kami berdua harus berusaha keras untuk menghapal bacaan – bacaan itu. Wajahnya akan marah, suaranya akan meninggi jika kami tidak mau pergi mengaji ke surau walau sudah pandai membaca Al Quran. Ia tetap ingin kami pergi ke surau untuk mengaji. Namun demikian beliau bukanlah oang yang pandai mengungkapkan rasa cintanya pada kami dalam bentuk kata – kata. Seringkali kami menilai ia tidak sayang dengan saya dan adik saya karena beliau sering marah pada kami. Ternyata apa yang dilakukannya adalah bentuk rasa cintanya pada kami semua.
Beliau memang bukan mujahid Palestina yang dengan gagah berani memerangi Israel dan pasukannya
Ayah saya bukanlah seorang presiden yang memiliki kekuasaan
Ayah saya bukanlah pejabat yang selalu memakai safari
Ayah saya bukanlah pengusaha sukses yang telah menyiapkan banyak warisan
Tapi ayah saya adalah Afrizal yang saya kagumi sosoknya, yang telah menghidupi kehidupan saya dengan rezeki dari Allah, yang memiliki kekuasaan di rumah kami, yang jarang sekali membeli baju baru meski di hari lebaran, yang telah mewariskan nilai – nilai keagamaan dan moralitas kepada kami yang senantiasa menganutnya.
Tanjungpinang, 16 Juni 2010
Sore yang dingin
Sebuah ungkapan cinta untuk ayah